Riski Anthi_22209039_3eb13
Penalaran Deduktif
Penalaran deduktif adalah suatu penalaran yang berawal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala
Pembuktian melalui deduksi adalah sebuah jalan pemikiran yang menggunakan argumen-argumen deduktif untuk beralih dari premis-premis yang ada, yang dianggap benar, kepada kesimpulan-kesimpulan, yang mestinya benar apabila premis-premisnya benar.
Contoh klasik dari penalaran deduktif, yang diberikan oleh Aristoteles, ialah
- Semua manusia fana (pasti akan mati). (premis mayor)
- Sokrates adalah manusia. (premis minor)
- Sokrates pasti (akan) mati. (kesimpulan)
Penalaran deduktif seringkali dikontraskan dengan penalaran induktif, yang menggunakan sejumlah besar contoh partikulir lalu mengambil kesimpulan umum.
Penalaran deduktif dikembangkan oleh Aristoteles, Thales, Pythagoras, dan para filsuf Yunani lainnya dari Periode Klasik (600-300 SM.). Aristoteles, misalnya, menceritakan bagaimana Thales menggunakan kecakapannya untuk mendeduksikan bahwa musim panen zaitun pada musim berikutnya akan sangat berlimpah. Karena itu ia membeli semua alat penggiling zaitun dan memperoleh keuntungan besar ketika panen zaitun yang melimpah itu benar-benar terjadi.
Penalaran deduktif tergantung pada premisnya. Artinya, premis yang salah mungkin akan membawa kita kepada hasil yang salah, dan premis yang tidak tepat juga akan menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat.
Alternatif dari penalaran deduktif adalah penalaran induktif. Perbedaan dasar di antara keduanya dapat disimpulkan dari dinamika deduktif tengan progresi secara logis dari bukti-bukti umum kepada kebenaran atau kesimpulan yang khusus; sementara dengan induksi, dinamika logisnya justru sebaliknya. Penalaran induktif dimulai dengan pengamatan khusus yang diyakini sebagai model yang menunjukkan suatu kebenaran atau prinsip yang dianggap dapat berlaku secara umum.
Penalaran deduktif memberlakukan prinsip-prinsip umum untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan yang spesifik, sementara penalaran induktif menguji informasi yang spesifik, yang mungkin berupa banyak potongan informasi yang spesifik, untuk menarik suatu kesimpulan umu. Dengan memikirakan fenomena bagaimana apel jatuh dan bagaimana planet-planet bergerak, Isaac Newton menyimpulkan teori daya tarik. Pada abad ke-19, Adams dan LeVerrier menerapkan teori Newton (prinsip umum) untuk mendeduksikan keberadaan, massa, posisi, dan orbit Neptunus (kesimpulan-kesimpulan khusus) tentang gangguan (perturbasi) dalam orbit Uranus yang diamati (data spesifik).
Logika Deduktif
Penalaran deduktif didukung oleh logika deduktif.
Misalnya:
Apel adalah buah.
Semua buah tumbuh di pohon.
Karena itu semua apel tumbuh di pohon.
Atau
Apel adalah buah.
Sebagian apel berwarna merah.
Karena itu sebagian buah berwarna merah.
Premis yang pertama mungkin keliru, namun siapapun yang menerima premis ini dipaksa untuk menerima kesimpulannya.
Silogisme
Silogisme dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Silogisme Kategorial
Silogisme kategorial disusun berdasarkan klasifikasi premis dan kesimpulan yang kategoris. Premis yang mengandung predikat dalam kesimpulan disebut premis mayor, sedangkan premis yang mengandung subjek dalam kesimpulan disebut premis minor.
Semua mamalia binatang yang melahirkan dan menyusui anaknya. Kerbau termasuk mamalia. Jadi, kerbau : binatang yang melahirkan dan menyusui anaknya.
Yang perlu dicermati adalah, bahwa pola penalaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari kita tidak demikian terlihat, entah di realita pembicaraan sehari-hari, lewat surat kabar, majalah, radio, televisi, dan lain-lain. Oleh sebab itu, dalam menyimak atau mendengarkan atau menerima pendapat seseorang, kita perlu berpikir kritis melihat dasar-dasar pemikiran yang digunakan sehingga kita dapat menilai seberapa tingkat kualitas kesahihan pendapat itu. Dalam hal seperti ini kita perlu mnenentukan:
1) kesimpulan apa yang disampaikan;
2) mencari dasar-dasar atau alasan yang dikemukakan sebagai premis-premisnya
3) menyusun ulang silogisme yang digunakannya; kemudian melihat kesahihannya berdasarkan ketentuan hukum silogisme.
Berdasarkan hal tersebut tentu saja kita akan mampu melihat setiap argumen, pendapat, alasan, atau gagasan yang kita baca atau dengar. Dengan demikian, secara kritis kita mengembangkan sikap berpikir ke arah yang cerdik, pintar, arif, dan tidak menerima begitu saja kebenaran / opini yang dikemukakan pihak lain. Berdasarkan hal inilah akhirnya kita mampu menerima, meluruskan, menyanggah, atau menolak suatu pendapat yang kita terima.
contoh:
Premis Umum : Orang yang baik selalu membuat orang nyaman.
Premis Khusus: Rina adalah muslim yang baik
Kesimpulan: Rina selalu membuat orang nyaman.
2. Silogisme Hipotesis
Silogisme hipotesis yaitu Silogisme yang terdiri atas premis mayor yang berproposisi konditional hipotesis. Konditional hipotesis yaitu : bila premis minornya membenarkan anteseden, simpulannya membenarkan konsekuen. Bila minornya
Menolak anteseden, simpulannya juga menolak konsekuen.
Contoh silogisme hipotesis :
Premis Umum : Semua pelajar tidak boleh merokok sebelum umur 17 tahun.
Premis kHusus : Tino adalah pelajar
Kesimpulan : Tino tidak boleh merokok sebelum umur 17 tahun.
3. Silogisme Alternatif
Silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif.
Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya. Simpulannya akan menolak alternatif yang lain.
Contoh silogisme alternatif :
Premis Umum : Nana masuk sekolah atau absen
Premis Khusus: Nana absen
Kesimpulan : Jadi, Nana tidak masuk sekolah
Entimen (silogisme yang diperpendek)
Entimen merupakan jenis silogisme yang tidak memunculkan Premis Umum,langsung dimulai dengan KEsimpulan dan Premis khusus sebagai penyabab.
Contoh:
Silogisme:
Premis Umum: Orang yang baik tidak mau berbohong
Premis Khusus: Tino orang yang baik
Kesimpulan Tino tidak mau berboohong
Entimen
Tino tidak mau berbohong sebab ia orang yang baik.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Penalaran