Jumat, 15 Oktober 2010

contoh kasus koperasi


RISKI ANTHI A.S

2 EB 13

22209039

 

1.    Kasus Koperasi KarangAsem Membangun


Kasus Kospin (Koperasi Simpan Pinjam) di Kabupaten Pinrang, Sulawawesi Selatan yang menawarkan bunga simpanan fantastis hingga 30% per bulan sampai akhirnya nasabah dirugikan ratusan milyar rupiah, ternyata belum menjadi pelajaran bagi masyarakat Indonesia.
Bagi Anda yang belum pernah tahu Kabupaten KarangAsem, belakangan ini akan semakin sering mendengar nama KarangAsem di media massa. Apa pasalnya, sehingga nama KarangAsem mencuat? Jawaban paling sahih, mencuatnya nama KarangAsem akibat adanya kasus investasi Koperasi KarangAsem Membangun.
Kabupaten KarangAsem adalah salah satu kabupaten di Provinsi Bali. Kabupaten ini masih tergolong kabupaten tertinggal dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah dan kondisi perekonomian daerah yang relatif ‘morat-marit’. Data dari Pemda Karangasem menyebutkan pendapatan per kapita masyarakat hanya sekitar Rp 6 juta per tahun.
Pada tahun 2006 lalu, di kabupaten ini lahirlah sebuah koperasi dengan nama Koperasi KarangAsem Membangun (KKM). KKM ini dalam operasinya mengusung beberapa nama ‘besar’ di daerah tersebut. Pengurus KKM, misalnya, diketuai oleh Direktur Utama PDAM Karangasem, I Gede Putu Kertia, sehingga banyak anggota masyarakat yang tidak meragukan kredibilitas koperasi tersebut. Dengan bekal kredibilitas tersebut, KKM tersebut mampu menarik nasabah dari golongan pejabat dan masyarakat berpendidikan tinggi.
KKM sebenarnya bergerak pada beberapa bidang usaha, antara lain simpan pinjam, toko dan capital investment. Salah satu layanan KKM yang menjadi ‘primadona’ adalah Capital Investment (Investasi Modal). Layanan Capital Investment yang dikelola oleh KKM menjanjikan tingkat pengembalian investasi sebesar 150% setelah tiga bulan menanamkan modal. Dengan kondisi sosial dimana mayoritas masyarakat tergolong ekonomi kurang mampu dan juga pendidikan yang relatif rendah, iming-iming keuntungan sebesar itu tentunya sangat menggiurkan. Lucunya, ada juga beberapa anggota DPRD Kabupaten Karangasem yang ikut ‘berinvestasi’ di KKM, bahkan ada yang sampai menanamkan modal sebesar Rp.400 juta.
Konyolnya, walaupun KKM menawarkan produk investasi, koperasi tersebut sama sekali tidak mengantongi ijin dari Bapepam. Pada kenyataannya, sebenarnya layanan Investment Capital tersebut adalah penipuan model piramida uang. Sebagian nasabah yang masuk duluan, memang berhasil mendapatkan kembali uangnya sekaligus dengan ‘keuntungannya’. Seorang pemodal misalnya, memberikan testimoni bahwa hanya dengan bermodalkan Rp 500 ribu, dalam waktu 3 bulan ia mendapatkan hasil Rp.1,5 juta. Dengan iming-iming 150% tersebut, antara November 2007 hingga 20 Februari 2009, KKM berhasil menjaring 72.000 nasabah dengan nilai total simpanan Rp.700 milyar.
 


TANGGAPAN:
Menurut saya secara akal sehat, tentunya sangat tidak masuk akal bahwa produk investasi KKM bisa menawarkan keuntungan yang begitu tinggi (150% per tiga bulan alias 600% per tahun). Ini tentunya boleh dikatakan mustahil bisa bertahan lama. Mungkin karena latar pendidikan yg rendah sehingga para nasabah dapat tertipu.
Penegakan hukum oleh kepolisian dan Bupati Karangasem mungkin agak terlambat, tapi hal itu harus dilakukan agar tidak semakin banyak calon-calon nasabah yang dirugikan. Misalnya dengan meminta kepolisian segera menutup bisnis investasi ala KKM tersebut. Kemudian para masyarakat khususnya pedesaan sebaiknya diberikan pengajaran dan penyuluhan yang lebih agar tidak mudah tertipu, selain itu pemerintah juga harus lebih aware dengan masalah-masalah seperti ini agar tidak terulang kembali.
Kasus Koperasi ini meskipun merupakan sebuah pengalaman pahit, namun bisa menjadi pelajaran berharga bagi seluruh masyarakat dan pemerintah.

2.    Kasus Koperasi SS


Pengurus Koperasi Sembilan Sejati (SS) tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari tanggung jawab atas kerugian koperasi tersebut. Indardi SH dari Divisi Investigasi Semarang Coruption Watch (SCW) menduga, laporan oleh sesama pengurus itu sebagai upaya pelepasan tanggung jawab berkaitan dengan tuntutan deposan/masyarakat atas simpanannya.
Di kantornya, Indardi tidak dapat menyembunyikan keheranannya mengapa hanya Hendrawan (Ketua I Koperasi SS) yang dijadikan tersangka. Menurut dia, sebagian pengurus pun diduga juga pernah mengucurkan pinjaman tanpa prosedur senilai miliaran rupiah. ''Rekening para pengurus yang digunakan untuk transaksi koperasi itu pun semestinya juga disita,'' tandas dia.
Menurutnya, korban yakni para deposan harus dijadikan saksi. Mengingat koperasi tersebut diduga telah menerbitkan surat simpanan berjangka dengan total nilai hampir Rp 100 miliar, maka hal tersebut merupakan tindak pidana perbankan melanggar Pasal 46 jo 16 UU No 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No 7 Tahun 1992.
Seperti diberitakan, Hendrawan diduga memberikan pinjaman kepada seorang pengusaha bernama Wijaya di luar prosedur. Akibat perbuatan tersebut, koperasi yang memiliki kantor di Semarang, Juwana, dan Solo itu rugi Rp 55 miliar. Baik Hendrawan maupun Wijaya yang dijerat dengan Pasal 374 KUHP tentang Penggelapan saat ini berstatus sebagai tanahan Polda Jateng. Sejak berdiri 3 tahun silam, koperasi tersebut diduga berhasil menghimpun dana masyarakat Rp 200 miliar.
Indardi menekankan pentingnya menghadirkan saksi ahli dari Bank Indonesia dan dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Provinsi Jawa Tengah atas kegiatan Koperasi Sembilan Sejati.

TANGGAPAN:
Menurut saya pendirian Koperasi SS telah menyimpang dari tujuan dan semangat atas keberadaan sebuah koperasi. Disini ada motif mencari keuntungan pribadi. Kasus ini harus segera diselesaikan lewat jalur hukum. Jika penanganan kasus tersebut tidak dikembangkan, nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan pada pengurus koperasi berkaitan dengan pengembalian dana. Para pendiri dan pengurus koperasi itu harus dimintai pertanggungjawabannya. Pengadilan harus tegas, dan tidak pandang bulu dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Siapa saja yang terbukti bersalah harus dikenai sanksi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar